Guru honorer ini berasa kena prank karena sudah lulus PPPK tapi dapat SK Pembatalan.
Rep: Bayu Adji P/ Red: Bilal Ramadhan
REPUBLIKA.CO.ID, GARUT — Karut-marut perekrutmen pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) banyak dirasakan oleh guru di daerah. Tiktik Sartika adalah salah satunya. Penantian lama perempuan berusia 53 tahun asal Kabupaten Garut itu berhakhir dengan surat keputusan pembatalan penempatan PPPK yang diterimanya pada Senin, 6 Maret 2023.
Melalui sambungan telepon kepada Republika, Ahad (12/3/2023), ia mengisahkan kronologi pembatalan penempatan itu dengan suara yang masih menyimpan ketidakpercayaan. Padahal, guru yang mengajar di SMAN 23 Pakenjeng Garut itu telah lama menantikan diangkat menjadi PPPK.
“Saya merasa dikhianati dan gagal dalam hidup. Tadinya kami sudah senang akan mendapat SK. Ternyata kami diangkat ke puncak gunung kemudian dihempaskan. Sakit benar,” kata perempuan itu kepada Republika.
Tiktik mengaku awal menjalani seleksi PPPK pada 2021. Ketika itu, ia dinyatakan lulus passing grade (PG), tapi tidak ada penempatan karena tidak ada formasi untuk keahliannya di sekolah tempatnya mengajar.
Namun, ia tak patah semangat. Tiktik kembali mengikuti seleksi PPPK setelah ada regulasi baru. Tes keduanya itu juga dinyatakan lulus PG. Hingga akhirnya, Tiktik mendapatkan kategori Prioritas 1 (P1) pada September 2022.
“Saya dikasih notif bahwa dapat P1 dan penempatan. Namun penempatannya disebutkan di waktu yang akan datang. Pada Desember, ada lagi pengumuman akan dapat SK (surat keputusan), tapi diundur terus,” ujar dia.
Tiktik hanya bisa menunggu. Namun, ia tetap sabar menantinya. Baginya, berkerja sebagai guru honorer selama puluhan tahun telah membuatnya terbiasa menunggu dengan sabar. Yang terpenting, pikirnya, sebentar lagi akan mendapatkan SK dan menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Penanantian itu masih diharapkan berujung indah hingga Februari, ketika ada pengumuman optimalisasi 2.100 guru. Berdasarkan kabar yang didapatnya, pengumuman pengangkatan akan dilakukan pada 10 Maret 2023.
Namun, Tiktik mendapat SK Pembatalan Penempatan pada Senin 6 Maret 2023 dari Panitia Seleksi Nasional (Panselnas). Ia melihat namanya ada dalam surat itu, meski nomor pesertanya berbeda.
“Saat ditelusuri oleh anak saya, itu benar nama saya dan bertugas di SMA 23 Pakenjeng Garut, Ketika itu, saya seperti tersambar petir. Saya pulang dan masuk ke kamar, saya menangis sampai akhirnya suami saya bertanya,” kata dia.
Ia pun berkata jujur kepada suaminya yang merupakan seorang pensiunan. “Rasa sakit karena penantian panjang harus berakhir,” kata guru yang telah mengajar sekitar 25 tahun itu.
Sakit hati itu makin menjadi ketika mengetahui bahwa di sekolahnya mengajar, hanya Tiktik yang pengangkatannya sebagai PPPK dibatalkan. Sementara lima orang temannya mendapatkan penempatan sebagai PPPK.
Kendati sedih, Tiktik tak berdiam diri. Ia mencoba bertanya masalah itu secara hierarki. Namun tidak ada yang mengetahui pembatalan penempatan yang diterimanya.
“Di grup WA juga ramai terkait hal ini. Ada sekitar 10 orang yang senasib dengan saya di Garut. Kami akhirnya difasilitasi oleh anggota DPRD Jabar untuk mediasi dan melakukan sanggahan,” kata dia.
Tiktik bersama sejumlah kawan senasib berencana pergi ke Bandung pada Senin (13/3/2023) untuk melakukan mediasi terkait masalah ini. Ia berharap akan mendapat hasil yang baik.
“Semoga para pemangku kebijakan itu berubah pikiran dan mengangkat kami yang sudah mengabdi lama,” ujar dia.
Tiktik mengaku, selama ini kerjanya sudah dihonor oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun, besaran honor itu tentu berbeda dengan status guru PPPK.
“Kalau dihitung buat makan, harus berhemat. Apalagi suami sudah pensiun. Kami kan juga ingin menguliahkan anak sesuai cita-cita. Apalagi, saya masih memiliki orang tua yang masih harus diurus,” kata dia.
Sementara itu, anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Enjang Tedi, mengatakan pembatalan tersebut tidak hanya terjadi di Garut, melainkan juga di sejumlah wilayah Jawa Barat. Menurut dia, di Kabupaten Garut sendiri ada 29 orang guru tingkat SMA yang dibatalkan penempatannya. Sedangkan di Jawa Barat, total terdapat 403 orang yang bernasib serupa.
“Kami melihat bahwa ini melanggar undang-undang, karena tidak ada kepastian hukum, kemudian tentu Panselnas tidak profesional,” kata dia, Jumat (10/3/2023).
Menurut Enjang, berdasarkan hasil penelusurannya, pembatalan itu dilakukan karena adanya sanggahan dari peraih nilai lainnya. Namun, ada temuan sejumlah guru di Garut yang sudah lolos, tetapi dibatalkan. Padahal guru tersebut tidak memiliki pesaing di bawahnya.
“Misalnya yang terjadi kepada guru Bahasa Inggris di Cibalong, yang daftar satu orang tapi dibatalkan. Padahal ketika menginput data itu sudah dikunci,” ucap Enjang.
Karena itu, Enjang menilai Panselnas tidak profesional. Ia pun akan memfasilitasi ratusan guru di Jawa Barat yang mengalami masalah itu untuk audiensi dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
“Disdik Provinsi juga menegaskan bahwa pembatalan itu tidak didorong oleh Provinsi, tapi ini murni dari pusat. Dari Kemendikbud,” kata Enjang.