Rabu 08 Mar 2023 07:48 WIB
Rep: Febryan A/ Red: Agus raharjo
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) memertanyakan sikap KPU RI yang tidak mengerahkan segala daya upaya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Akibatnya, putusan PN Jakpus memerintahkan penundaan Pemilu 2024.
Sebab, KPU tidak menghadirkan saksi maupun menggunakan jasa pengacara dalam persidangan tersebut. Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini menjelaskan, dalam gugatan perdata yang dilayangkan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) itu, petitumnya tidak main-main, yakni meminta PN Jakpus menghukum KPU menunda pemilu.
Petitum tersebut muncul saat wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan masih dihembuskan sejumlah politisi. Merespons gugatan tersebut, lanjut Titi, KPU memang sudah menyampaikan eksepsi. Dalam eksepsinya, KPU menyatakan bahwa PN Jakpus tidak berwenang mengadili perkara sengketa proses pemilu.
Namun, majelis hakim dalam Putusan Sela menyatakan menolak eksepsi KPU, sehingga persidangan perkara tersebut dilanjutkan. Anehnya, kata Titi, KPU tidak merespons Putusan Sela itu dengan serius.
“Mestinya ada upaya luar biasa dari KPU untuk mengantisipasi Putusan Sela tersebut. Justru langkah KPU adalah tetap tidak mengajukan saksi maupun ahli,” kata Titi kepada wartawan, Selasa (7/3/2023).
Titi menduga, KPU tidak mengerahkan segala daya upaya karena merasa percaya diri PN Jakpus bakal menolak gugatan Prima. Sebab, perkara serupa sudah ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Selain itu, Titi menduga KPU juga jemawa bakal menang karena gugatan perdata tidak masuk dalam peradilan pemilu.
Terlepas dari ketidakseriusan KPU menghadapi persidangan tersebut, Titi menilai PN Jakpus memang tidak berwenang mengadili perkara sengketa pemilu. Dia juga menyimpulkan bahwa putusan menunda pemilu bertentangan dengan konstitusi.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari membantah anggapan bahwa pihaknya meremehkan sidang gugatan Prima di PN Jakpus tersebut. Hasyim mengeklaim pihaknya serius menghadapi semua gugatan yang dilayangkan Prima, baik di Bawaslu, PTUN, maupun di PN Jakpus.
Kendati mengaku serius, Hasyim mengakui pula bahwa pihaknya sengaja tidak menghadirkan saksi dalam persidangan di PN Jakpus itu. Hasyim punya dua alasan. Pertama, PN Jakpus tidak berwenang mengadili gugatan yang dilayangkan Prima itu. Sebab, gugatan dan sengketa partai politik jalurnya ada di Bawaslu dan PTUN.
Kedua, KPU merupakan penyelenggara atau pelaku dalam proses pendaftaran dan verifikasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. Karena itu, KPU adalah pihak yang paling mengetahui persoalan tersebut.
“Berdasarkan dua hal tersebut, KPU tidak menghadirkan saksi dan KPU cukup menghadapi sendiri persidangan tersebut,” kata Hasyim kepada wartawan, Selasa.
Gugatan perdata di PN Jakpus tersebut dilayangkan Prima pada 8 Desember 2022 lalu. Prima merasa dirugikan oleh KPU dalam proses verifikasi administrasi partai politik, sehingga mereka dinyatakan tidak lolos sebagai peserta Pemilu 2024.
Dalam salinan putusan perkara tersebut, diketahui KPU RI tidak mengirimkan satu orang pun saksi maupun saksi ahli untuk menguatkan argumentasinya guna membantah dalil-dalil Prima. KPU RI juga tidak menunjuk kuasa hukum, melainkan hanya memberikan kuasa kepada 43 orang, terdiri atas komisioner dan pegawai KPU, untuk berbicara dalam persidangan.
Sedangkan pihak Prima menghadirkan dua orang saksi dan menggunakan jasa pengacara. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut Partai Prima dapat membuktikan seluruh dalil gugatannya. “Sedangkan tergugat (KPU) tidak dapat mempertahankan dalil-dalil bantahannya,” demikian bunyi salah satu pertimbangan majelis hakim.
Alhasil, majelis hakim dalam amar putusannya memutuskan mengabulkan seluruh gugatan Prima. Majelis menyatakan Prima adalah partai politik yang dirugikan oleh KPU dalam proses verifikasi. Majelis menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).
Majelis hakim menghukum KPU untuk menghentikan tahapan Pemilu 2024 yang tengah berjalan dan mengulang tahapan pemilu sedari awal dalam kurun waktu 2 tahun 4 bulan 7 hari. Artinya, pemilu yang sejatinya digelar 14 Februari 2024 ditunda menjadi Juli 2025. Atas putusan tersebut, KPU RI menyatakan akan mengajukan banding. KPU RI juga tidak mau melaksanakan hukuman mengulang atau menunda pemilu.