Anisa Indraini – detikFinance
Kamis, 21 Nov 2024 12:41 WIB
Jakarta – Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% di 2025 mendapatkan penolakan keras di media sosial. Penolakan itu salah satunya diungkapkan dengan berbagai pesan berlatar biru yang memuat lambang garuda.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy mengatakan gerakan itu merupakan peringatan keras dari masyarakat untuk pemerintah agar membatalkan rencana PPN 12% di 2025.
“Jika kita perhatikan dari gerakan tersebut, umumnya masyarakat tidak setuju dengan rencana pemerintah yang akan menerapkan tarif baru PPN ini dan saya kira kekhawatiran ataupun protes masyarakat dalam bentuk pagar ataupun slogan di media sosial cukup beralasan,” kata Yusuf kepada detikcom, Kamis (21/11/2024).
Menurut Yusuf, momentum pemerintah menerapkan PPN 12% di 2025 memang kurang tepat. Pasalnya sampai data terakhir di Oktober 2024, beberapa indikator terkait pelemahan daya beli masyarakat disebut relatif masih terjadi.
“Persepsi masyarakat jika kebijakan tersebut jadi diterapkan di awal tahun depan, maka beban yang mereka harus tanggung akan semakin besar. Padahal beban yang dihadapkan ke mereka di tahun ini tidak kecil dan ini juga diperburuk dengan situasi seperti terjadinya PHK dan penurunan kelas yang menunjukkan semakin kuat terkait argumentasi turunnya daya beli masyarakat,” jelas Yusuf.
Untuk itu, pemerintah dinilai perlu menimbang ulang rencana penerapan PPN 12% di 2025. Setidaknya kebijakan tersebut dapat ditunda sampai momentumnya lebih tepat untuk dijalankan.
“Atas dasar kekhawatiran dan juga persepsi masyarakat, menurut saya setidaknya memang pemerintah perlu menimbang ulang agar rencana untuk kebijakan tarif baru PPN ini setidaknya ditunda sampai kemudian pemerintah melihat momentumnya lebih tepat untuk dijalankan,” ucapnya.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah harus segera meresponsnya dengan membatalkan rencana PPN 12% di 2025. “Harus segera dibatalkan. Ada kekhawatiran naiknya PPN jadi 12% bersamaan dengan pungutan lainnya bisa picu resesi ekonomi,” kata Bhima dihubungi terpisah.
Bhima menyebut kebijakan PPN 12% akan menciptakan pelemahan daya beli kelas menengah ke bawah. Ujungnya pelaku usaha akan terpukul dan bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di ritel dan industri pengolahan.
“Pemerintah harus memikirkan kembali rencana kenaikan tarif PPN 12% karena akan mengancam pertumbuhan ekonomi yang dominan disumbang dari konsumsi rumah tangga,” ucapnya.
(acd/acd)