Novi Christiastuti – detikNews
Rabu, 09 Agu 2023 10:25 WIB
Naypyitaw – Laporan terbaru dari kelompok penyelidik yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan bahwa militer Myanmar, dan milisi-milisi yang berafiliasi dengannya, semakin sering melakukan kejahatan perang, termasuk pengeboman udara yang menargetkan warga sipil.
Seperti dilansir Associated Press, Rabu (9/8/2023), laporan itu disampaikan oleh Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar atau IIMM, yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB tahun 2018 lalu untuk memantau pelanggaran hukum internasional di Myanmar.
Dalam laporannya, IIMM menyatakan telah menemukan bukti kuat selama 12 bulan yang berakhir pada Juni lalu, yang menunjukkan bahwa tentara dan milisi Myanmar secara membabi-buta dan secara tidak proporsional menargetkan warga sipil dengan bom, melakukan eksekusi massal orang-orang yang ditahan selama operasi dan melakukan pembakaran rumah-rumah warga sipil secara besar-besaran
IIMM juga mengatakan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan bukti-bukti yang bisa digunakan dalam penuntutan di masa depan, terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Setiap nyawa yang hilang di Myanmar adalah tragis, tetapi kehancuran yang dialami seluruh masyarakat melalui pengeboman udara dan pembakaran desa sangat mengejutkan,” sebut ketua IIMM Nicholas Koumjian dalam pernyataannya.
“Bukti-bukti yang kami dapatkan menunjukkan peningkatan dramatis dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di negara itu, dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil, dan kami sedang membangun berkas kasus yang bisa digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku individu,” jelasnya.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer merebut kekuasaan dari pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, yang memicu unjuk rasa besar-besaran yang kemudian berhadapan dengan penindakan tegas yang mematikan oleh junta militer.
Para penentang junta militer kemudian mengangkat senjata dan sebagian besar wilayah Myanmar sekarang terlibat dalam konflik, yang oleh beberapa pakar PBB dicirikan sebagai perang sipil.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah organisasi pemantau HAM, melaporkan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah menewaskan sedikitnya 3.900 warga sipil dan menangkap 24.236 orang lainnya sejak kudeta terjadi.
Pemerintah junta militer semakin berani melancarkan serangan di area-area pedesaan untuk melawan oposisi bersenjata terhadap pemerintahannya dan telah berupaya mengamankan wilayah dengan melancarkan serangan udara dan membakar desa-desa, menggusur ribuan orang.
Pasukan yang menentang junta memiliki persenjataan terbatas dan tidak memiliki pertahanan terhadap serangan udara yang dilancarkan militer Myanmar.
Pada April lalu, militer Myanmar menjatuhkan bom ke wilayah desa Pazigyu, Sagaing, yang menewaskan lebih dari 160 orang, yang mencakup banyak anak-anak. Human Rights Watch (HRW) menyebut serangan bom itu sebagai amunisi ‘ledakan yang ditingkatkan’ yang dikenal sebagai peledak bahan bakar di udara.
Merespons tuduhan pelanggaran, junta militer Myanmar menuduh anggota Pasukan Pertahanan Rakyat yang pro-demokrasi, sayap bersenjata Pemerintah Persatuan Nasional, yang telah melakukan terorisme terhadap target-target terkait pemerintah.
Namun IIMM dalam laporannya menyebut junta militer seharusnya mengetahui sejumlah besar warga sipil hadir di lokasi yang diserangnya pada saat itu.
Dijelaskan juga oleh IIMM bahwa laporannya ini didasarkan pada foto, video, materi audio, dokumen, peta, citra geospasial, postingan media sosial dan bukti forensik dari sebanyak 700 sumber, termasuk lebih dari 200 keterangan saksi mata.
Tidak ada informasi soal otoritas Myanmar menyelidiki para pejabat militer atau sipil atas dugaan kejahatan perang maupun kejahatan kemanusiaan. IIMM menilai tindakan mengabaikan kejahatan semacam itu bisa mengindikasikan bahwa otoritas yang lebih tinggi memang berniat akan hal semacam itu dilakukan.