Rabu 09 Nov 2022 00:54 WIB
Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Gita Amanda
Hasil dari gelar perkara mensinyalkan korban harus menempuh pra peradilan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Tim Independen kasus kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM), Ratna Bataramunti, mengungkapkan hasil gelar perkara kasus tersebut yang dilakukan di Polresta Bogor. Ia mendapati hasil dari gelar perkara mensinyalkan korban harus menempuh pra peradilan.
Ratna menyampaikan gelar perkara menganggap pasal 286 adalah delik aduan. Sehingga yang delik biasa hanya persetubuhan terhadap anak. Perspektif Penyidik ini diwakili Kanit PPA 2019-2020 Bripka Frida yang menganggap korban sudan dewasa.
Adapun Pasal 286 KUHP berbunyi: Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun.
“Asumsinya perbuatan atas dasar suka sama suka,” kata Ratna dalam keterangannya kepada Republika, Selasa (8/11/2022).
Berdasarkan gelar perkara tersebut, Ratna menyebut kasus ini baru bisa dilanjutkan lagi dengan menempuh pra peradilan atau alternatif gelar perkara khusus. “Tapi tekanan kuat pada pra peradilan kalau mau dibuka lagi,” ujar Ratna.
Dalam kesempatan itu, Ratna menyampaikan Kompolnas ikut mendorong agar perbedaan pandangan antara pendamping korban dengan penyidik bisa dibawa ke mekanisme pra peradilan. Kemudian, pendamping korban bisa melapor ke propam terkait perilaku penyidik.
“Seperti melibatkan transaksi uang dalam penanganan perkara, dan dugaan terkait pemalsuan dokumen oleh penyidik,” ucap Ratna.
Rata juga sempat menanyakan kepada penyidik, terutama Kanit PPA Frida mengenai hak korban untuk didampingi oleh pendamping sebagaimana amanat UU Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Namun terbongkar bahwa korban selama proses hukum tak pernah mendapat pendampingan bantuan hukum.
“Apakah selama proses, penyidik memastikan hak korban untuk bisa didampingi oleh pendamping karena di UU PSK hak korban dijamin untuk mengakses bantuan hukum? Mereka jawabnya tidak,” ungkap Ratna.
Tercatat pada tahun 2019, terjadi kasus kekerasan seksual berbentuk “gang rape” di lingkup KemenkopUKM yang kemudian ditindaklanjuti berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.
Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban.
Padahal pernikahan itu sarat dengan tekanan. Korban dan keluarganya sempat didatangi pejabat KemenKop UKM dan keluarga pelaku ketika kasus ini sudah dalam proses penyidikan. Dalam kesempatan itu, keluarga pelaku memelas dikasihani.
Bahkan keluarga korban dipaksa menikahkan korban dengan salah satu pelaku berinisial ZP yang masih lajang. Pernikahan itu akhirnya berlangsung pada 12 Maret 2020 menggunakan izin menikah karena pelaku saat itu mendekam di balik jeruji besi.
Padahal usai pernikahan, ZP seolah lenyap dari bumi. ZP pun tak berlaku layaknya suami dari korban.